Thursday, February 19, 2009

konsep uang dalam ekonomi syariah

PERSPEKTIF UANG ISLAMI

Dalam masyarakat yang maju, dikenal alat pertukaran dan satuan pengukur nilai untuk melakukan sebuah transaksi. Dunia Islam telah mengenal alat pertukaran dan pengukur nilai tersebut, bahkan Al Quran secara eksplisit menyatakan alat pengukur nilai tersebut berupa emas dan perak dalam berbagai ayat. Para fuqaha menafsirkan emas dan perak tersebut sebagai dinar dan dirham.

Uang Dalam Pandangan al-Ghazali & Ibnu Khaldun

Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin” telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelaskan, bahwa ada kalanya seseorang mempunyai sesuatu yang tidak dibutuhkannya dan membutuhkan sesuatu yang tidak dimilikinya. Dalam ekonomi barter, transaksi hanya terjadi jika kedua pihak mempunyai dua kebutuhan sekaligus, yakni pihak pertama membutuhkan barang pihak kedua dan sebaliknya pihak kedua membutuhkan barang pihak pertama, misalnya seseorang mempunyai onta dan membutuhkan kain. Menurut Al-Ghazali, walaupun dalam ekonomi barter dibutuhkan suatu alat pengukur nilai yang disebut sebagai “uang”. Sebagaimana contoh di atas, misalnya nilai onta adalah 1000 dinar dan kain senilai 1 dinar. Dengan adanya uang sebagai alat pengukur nilai, maka uang akan berfungsi sebagai media penukaran.

Namun demikian, uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri, artinya uang diciptakan untuk memperlancar pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran tersebut. Menurut al-Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna. Maksudnya adalah uang tidak mempunyai harga, tetapi merefleksikan harga semua barang. Dalam istilah ekonomi klasik disebutkan bahwa uang tidak memberikan kegunaan langsung (direct utility function), yang artinya adalah jika uang digunakan untuk membeli barang, maka barang itu yang akan memberikan kegunaan.

Pembahasan mengenai uang juga terdapat dalam kitab “Muqaddimah” yang ditulis oleh Ibnu Khaldun. Beliau menjelaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Apabila suatu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bukan merupakan refleksi pesatnya pertumbuhan sektor produksi, maka uang yang melimpah tersebut tidak ada nilainya. Sektor produksi merupakan motor penggerak pembangunan suatu negara karena akan menyerap tanaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan (pasar) terhadap produksi lainnya.

Menurut Ibnu Khaldun, jika nilai uang tidak diubah melalui kebijaksanaan pemerintah, maka kenaikan atau penurunan harga barang semata-mata akan ditentukan oleh kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand), sehingga setiap barang akan memiliki harga keseimbangan. Misalnya, jika di suatu kota makanan yang tersedia lebih banyak daripada kebutuhan, maka harga makanan akan murah, demikian pula sebaliknya. Inflasi (kenaikan) harga semua atau sebagian besar jenis barang tidak akan terjadi karena pasar akan mencari harga keseimbangan setiap jenis barang. Apabila satu barang harganya naik, namun karena tidak terjangkau oleh daya beli, maka harga akan turun kembali.

Merujuk kepada Al-Quran, al-Ghazali berpendapat bahwa orang yang menimbun uang adalah seorang penjahat, karena menimbun uang berarti menarik uang secara sementara dari peredaran. Dalam teori moneter modern, penimbunan uang berarti memperlambat perputaran uang. Hal ini berarti memperkecil terjadinya transaksi, sehingga perekonomian menjadi lesu. Selain itu, al-Ghazali juga menyatakan bahwa mencetak atau mengedarkan uang palsu lebih berbahaya daripada mencuri seribu dirham. Mencuri adalah suatu perbuatan dosa, sedangkan mencetak dan mengedarkan uang palsu dosanya akan terus berulang setiap kali uang palsu itu dipergunakan dan akan merugikan siapapun yang menerimanya dalam jangka waktu yang lebih panjang.

Fungsi Uang Islami vs Konvensional

Menurut konsep Ekonomi Islam, uang adalah uang, bukan capital, sementara dalam konsep ekonomi konvensional, konsep uang tidak begitu jelas. Misalnya dalam buku “Money, Interest and Capital” karya Colin Rogers, uang diartikan sebagai uang dan capital secara bergantian. Sedangkan dalam konsep ekonomi Syariah uang adalah sesuatu yang bersifat flow concept dan merupakan public goods. Capital bersifat stock concept dan merupakan private goods. Uang yang mengalir adalah public goods, sedangkan yang mengendap merupakan milik seseorang dan menjadi milik pribadi (private good).

Islam, telah lebih dahulu mengenal konsep public goods, sedangkan dalam ekonomi konvensional konsep tersebut baru dikenal pada tahun 1980-an seiring dengan berkembangnya ilmu ekonomi lingkungan yang banyal membicarakan masalah externalities, public goods dan sebagainya. Konsep publics goods tercermin dalam sabda Rasulullah SAW, yakni “Tidaklah kalian berserikat dalam tiga hal, kecuali air, api, dan rumput.”

Persamaan fungsi uang dalam sistem Ekonomi Islam dan Konvensional adalah uang sebagai alat pertukaran (medium of exchange) dan satuan nilai (unit of account). Perbedaannya adalah ekonomi konvensional menambah satu fungsi lagi sebagai penyimpan nilai (store of value) yang kemudian berkembang menjadi motif money demand for speculation, yang merubah fungsi uang sebagai salah satu komoditi perdagangan. Jauh sebelumnya, Imam al-Ghazali telah memperingatkan bahwa “Memperdagangkan uang ibarat memenjarakan fungsi uang, jika banyak uang yang diperdagangkan, niscaya tinggal sedikit uang yang dapat berfungsi sebagai uang.”

Dengan demikian, dalam konsep Islam, uang tidak termasuk dalam fungsi utilitas karena manfaat yang kita dapatkan bukan dari uang itu secara langsung, melainkan dari fungsinya sebagai perantara untuk mengubah suatu barang menjadi barang yang lain. Dampak berubahnya fungsi uang dari sebagai alat tukar dan satuan nilai mejadi komoditi dapat kita rasakan sekarang, yang dikenal dengan teori “Bubble Gum Economic”.

Wednesday, December 10, 2008

Syarat -syarat Pengenaan Pajak dalam Islam

Islam adalah agama yang anti kedzaliman. Pengutipan pajak tidak dapat dilakukan sembarangan dan sekehendak hati penguasa. Pajak yang diakui dalam sejarah fiqh Islam dan sistem yang dibenarkan harus memenuhi beberapa syarat yaitu :
1. Benar – benar harta itu dibutuhkan dan tak ada sumber lain. Pajak itu boleh dipungut apabila negara memang benar – benar membutuhkan dana, sedangkan sumber lain tidak diperoleh. Demikianlah pendapat Syeikh Muhammad Yusuf Qardhawy.
Para ulama dan para ahli fatwa hukum Islam menekankan agar memperhatikan syarat ini sejauh mungkin. Sebagian ulama mensyaratkan bolehnya memungut pajak apabila Baitul Mal benar – benar kosong. Para ulama benar – benar sangat hati – hati dalam mewajibkan pajak kepada rakyat, karena khawatir akan membebani rakyat dengan beban yang di luar kemampuannya dan keserakahan pengelola pajak dan penguasa dalam mencari kekayaan dengan cara melakukan korupsi hasil pajak.
Sultan Zahir Baibas adalah Raja muslim yang berkuasa pada masa Imam Nawawi. Tatkala negara hendak berperang melawan tentara Tartar di negara Syam, dalam Baitul Mal tidak terdapat biaya yang cukup untuk perang. Maka dikumpul para Ulama dalam Musyawarah, mereka menetapkan keharusan memungut pajak kepada rakyat untuk membantu biaya perang. Ternyata Imam Nawawi tidak hadir dalam acara itu, sehingga menimbulkan tanda tanya bagi Sultan itu. Maka akhirnya Imam Nawawi dipanggil. Sultan berkata kepadanya “Berikan tanda tangan anda bersama para ulama lain”. Akan tetapi Imam Nawawi tidak bersedia. Sultan menanyakan kepada Imam Nawawi “ kenapa tuan menolak ?”
Imam Nawawi berkata : “Saya mengetahui bahwa Sultan dahulu adalah hamba sahaya dari Amir Banduqdar, anda tak mempunyai apa – apa, lalu Allah memberikan kekayaan dan dijadikannya Raja, saya dengar anda memiliki seribu orang hamba. Setiap hamba mempunyai pakaian kebesaran dari emas dan andapun mempunyai 200 orang jariah, setiap jariah mempunyai perhiasan. Apabila anda telah nafkahkan itu semua, dan hamba itu hanya memakai kain wol saja sebagai gantinya, demikian pula para jariah hanya memakai pakaian tanpa perhiasan, maka saya berfatwa boleh memungut biaya dari rakyat.
Mendengar pendapat Imam Nawawi ini, Sultan Zahir pula sangat marah kepadanya dan berkata : “keluarlah dari negeriku Damaskus”. Imam Nawawi menjawab, “saya taati perintah Sultan “, lalu pergilah ia ke kampung Nawa. (maka itulah dia digelari Nawawi). Para ahli fiqh berkata kepada Sultan, “ Beliau itu adalah ulama besar, ikutan kami dan sahabat kami “. Lalu Imam Nawawi diminta kembali ke Damaskus tetapi beliau menolak dan berkata : “ Saya tidak akan masuk Damaskus selagi Zahir ada di sana”, kemudian Sultan pun mati. Diantara tulisan berupa nasehat untuk Sultan Zabir ia berkata : “tidak halal memungut sesuatu dari rakyat selagi dalam baitul mal ada uang atau perhiasan, tanda atau ladang yang dapat dijual”. Semoga ini menjadi renungan dan i’tibar bagi ummat Islam saat ini, terutama bagi pejabat – pejabat pajak, DPR atau penguasa.

2. Pemungutan Pajak yang Adil.
Apabila pajak itu benar-benar dibutuhkan dan tidak ada sumber lain yang memadai, maka pengutipan pajak, bukan saja boleh, tapi wajib dengan syara. Tetapi harus dicatat, pembebanan itu harus adil dan tidak memberatkan.
Jangan sampai menimbulkan keluhan dari masyrakat. Keadilan dalam pemungutan pajak didasarkan kepada pertimbangan ekonomi, sosial dan kebutuhan yang diperlukan rakyat dan pembangunan. (Qardhawi h. 1081-1082).
Distribusi hasil pajak juga harus adil, jangan tercemar unsur KKN. Jangan prioritaskan pembangunan kampung halaman pejabat itu saja, tetapi sesuaikan dengan kebutuhan, kenyataan menunjukkan, seorang pejabat hanya terpokus membangun kampung kelahirannya (nenek moyangnya), kurang peduli pada daerah yang lain. Sehingga terjadi kesenjangan pembangunan. Ini merupakan sebuah kezaliman.

3. Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan umat, bukan untuk maksiat dan hawa nafsu.
Hasil pajak harus digunakan untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan kelompok (partai), bukan untuk pemuas nafsu para penguasa, kepentingan pribadi, kemewahan keluarga pejabat dan orang-orang dekatnya.
Karena itu, Al-Qur’an memperhatikan sasaran zakat secara rinci, jangan sampai menjadi permainan hawa nafsu, keserakahan atau untuk kepentingan money politic. Justru itulah para Khulafaur Rasyidin dan para sahabat besar menekankan penggunaan kekayaan rakyat pada sasaran-sasaran yang ditetapkan syariat. Jangan sampai pajak tersebut menjadi lahan korupsi.
Tapi sangat di sayangkan, tidak sedikit oknum yang menyalahgunakan pajak untuk kepentingan pribadi, golongan dan kroni-kroninya. Itulah bedanya antara Kulafaur Rasyidin dengan raja dan pejabat yang rakus.
Ibnu Sa’ad meriwayatkan dalam At-Thabaqat dari Salman bahwa Umar berkata kepadanya, “Apakah aku ini raja atau Khalifah”.? Salman menjawab, “Kalau engkau memungut dari negeri muslim satu dirham, kemudian engkau gunakan bukan pada haknya, maka engkau raja, bukan Khalifah”.
Diriwayatkan dari Sufyan bin Abu Aufa, Umar bin khattab berkata, Demi Allah, aku tidak tahu, apakah aku ini Khalifah atau raja, bila aku raja, maka ini masalah yang besar”. Seseorang berkata, “Hai Amirul Mukminin, sesungguhnya keduanya berbeda, Khalifah tidak akan memungut sesuatu kecuali dari yang layak dan tidak akan memungut sesuatu kecuali kepada yang berhak. Alhamdulillah engkau termasuk kepada orang yang demikian, sedangkan raja (zalim) akan berbuat sekehendaknya”. Maka Umar diam (Qardhawi, hlm. 1083.)

4. Persetujuan para ahli/cendikiawan yang berakhlak. Kepala negara, wakilnya, gubernur atau pemerintah daerah tidak boleh bertindak sendiri untuk mewajibkan pajak, menentukan besarnya, kecuali setelah dimusyawarahkan dan mendapat persetujuan dari para ahli dan cendikiawan dalam masyarakat.
Karena pada dasarnya, harta seseorang itu haram diganggu dan harta itu bebas dari berbagai beban dan tanggungan, namun bila ada kebutuhan demi untuk kemaslahatan umum, maka harus dibicarakan dengan para ahli termasuk ulama. Musyawarah adalah unsur pokok dalam masyarakat yang beriman, sebagai perintah langsung dari Allah SWT
Para pejabat pemerintah yang menangani pajak harus mempertimbangkan secara adil, obyektif dan seksama dan matang dalam menetapkan tarif pajak. DPR harus menyampaikan dan membawa aspirasi rakyat banyak, bukan hanya memikirkan kepentingan pribadi atau golongan..

Penutup
1. Zakat dan pajak diwajibkan bagi umat Islam, tetapi kewajiban pajak harus diberikan keringanan bagi umat Islam. Sehingga tidak memberatkan karena dua kali beban.
2. Pemerintah hendaknya juga memberikan keringanan kepada Pegawai Negeri Sipil, berupa pengurangan pajak berdasarkan pasal 22 Undang Undang PPH, karena pegawai negeri muslim tertentu juga diwajibkan untuk membayar zakat sebanyak 2,5%.(tentunya jika nisahbnya terpenuhi)
3. Pembayaran pajak tidak bisa menggugurkan kewajiban zakat, meskipun diniatkan pajak itu sebagai zakat. Sebab wajibnya zakat bersifat aqli dan abadi, mutlak dan ta’abbudi. Sedangkan pajak bersifat ‘aqli, berdasarkan maslahat dan bersifat temporer.
4. Pemerintah dan DPR/DPRD harus memperhatikan syarat-syarat pemungutan pajak yang telah dirumuskan ulama, demi terwujudnya keadilan dan hilangnya kezaliman dalam masyarakat.
5. Masyarakat muslim hendaknya membayar zakat hartanya, terutama melalui lembaga resmi yang telah didirikan saat ini yaitu BAZNAS atau LAZNAS, yang akan didistribusikan kepada mustahiq yang paling membutuhkan dan sesuai dengan hajat dan kebutuhan.
Demikian pula halnya dengan pajak, sehingga umat Islam Indonesia menjadi warga negara yang baik yang kesediaan membayar pajak dan zakat berarti umat Islam ikut andil dalam kegiatan pembangunan. Sebagai penutup tulisan ini, saya mengakhirinya dengan semboyan, “Orang taat bayar zakat, orang bijak taat pajak”.

Sunday, December 7, 2008

Kebijakan Perpajakan dalam Mengendalikan Inflasi

1. Penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh)

Penurunan tarif PPh dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan tarif PPh yang berlaku di negara-negara tetangga yang relatif lebih rendah, meningkatkan daya saing di dalam negeri, mengurangi beban pajak dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP).

a. Bagi WP orang pribadi, tarif PPh tertinggi diturunkan dari 35% menjadi
30% dan menyederhanakan lapisan tarif dari 5 lapisan menjadi 4 lapisan, namun memperluas masing-masing lapisan penghasilan kena pajak (income bracket), yaitu lapisan tertinggi dari sebesar Rp 200 juta menjadi Rp 500 juta.

b. Bagi WP badan, tarif PPh yang semula terdiri dari 3 lapisan, yaitu 10%, 15% dan 30% menjadi tarif tunggal 28% di tahun 2009 dan 25% tahun 2010.
Penerapan tarif tunggal dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan prinsip kesederhanaan dan international best practice. Selain itu, bagi WP badan yang telah go public diberikan pengurangan tarif 5% dari tariff normal dengan kriteria paling sedikit 40% saham dimiliki oleh masyarakat. Insentif tersebut diharapkan dapat mendorong lebih banyak perusahaan yang masuk bursa sehingga akan meningkatkan good corporate governance dan mendorong pasar modal sebagai alternatif sumber pembiayaan bagi perusahaan.

c. Bagi WP UMKM yang berbentuk badan diberikan insentif pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal yang berlaku terhadap bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 miliar. Pemberian insentif tersebut dimaksudkan untuk mendorong berkembangnya UMKM yang pada
kenyataannya memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian di Indonesia. Pemberian insentif juga diharapkan dapat mendorong kepatuhan WP yang bergerak di UMKM.

d. Bagi WP orang pribadi Pengusaha Tertentu, besarnya angsuran PPh Pasal 25 diturunkan dari 2% menjadi 0,75% dari peredaran bruto.
Penurunan tarif tersebut dimaksudkan untuk membantu likuiditas WP dengan pembayaran angsuran pajak yang lebih rendah serta memberikan kepastian dan kesederhanaan penghitungan PPh.

e. Bagi WP pemberi jasa yang semula dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto menjadi 2% dari peredaran bruto.

Perubahan tarif tersebut dimaksudkan untuk memberikan keseragaman pemotongan pajak yang sebelumnya ada yang didasarkan pada penghasilan bruto dan sebagian didasarkan pada penghasilan neto. Dengan metode ini, penerapan perpajakan diharapkan dapat lebih sederhana dan tarif relatif lebih rendah sehingga dapat meningkatkan kepatuhan WP.

f. Bagi WP penerima dividen yang semula dikenai tarif PPh progresif dengan tarif tertinggi sampai dengan 35%, menjadi tarif final 10%. Penurunan tarif tersebut dimaksudkan untuk mendorong perusahaan untuk membagikan dividen kepada pemegang saham, mendorong tumbuhnya investasi di Indonesia karena dikenakan tarif lebih rendah dan meningkatkan
kepatuhan WP.

2. Bagi WP yang telah mempunyai NPWP dibebaskan dari kewajiban pembayaran fiskal luar negeri sejak 2009, dan pemungutan fiskal luar negeri dihapus pada 2011.
Pembayaran fiskal luar negeri adalah pembayaran pajak di muka bagi orang pribadi yang akan bepergian ke luar negeri. Kebijakan penghapusan kewajiban pembayaran fiskal luar negeri bagi WP yang memiliki NPWP dimaksudkan untuk mendorong WP memiliki NPWP sehingga memperluas basis pajak. Diharapkan pada 2011 semua masyarakat yang wajib memiliki NPWP telah memiliki NPWP sehingga kewajiban pembayaran fiskal luar negeri layak dihapuskan.

3. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk diri WP orang Pribadi ditingkatkan sebesar 20% dari Rp 13,2 juta menjadi Rp 15,84 juta, sedangkan untuk tanggungan istri dan keluarga ditingkatkan sebesar 10% dari Rp 1,2 juta menjadi Rp 1,32 juta dengan paling banyak 3 tanggungan setiap keluarga.
Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan PTKP dengan perkembangan ekonomi dan
moneter serta mengangkat pengaturannya dari peraturan Menteri Keuangan
menjadi undang-undang.

4. Penerapan tarif pemotongan/pemungutan PPh yang lebih tinggi bagi WP yang tidak memiliki NPWP
a. Bagi WP penerima penghasilan yang dikenai pemotongan PPh Pasal 21 yang tidak mempunyai NPWP dikenai pemotongan 20% lebih tinggi dari tarif normal.
b. Bagi WP menerima penghasilan yang dikenai pemotongan PPh Pasal 23 yang tidak mempunyai NPWP, dikenai pemotongan 100% lebih tinggi dari tarif normal.
c. Bagi WP yang dikenai pemungutan PPh Pasal 22 yang tidak mempunyai NPWP dikenakan pemungutan 100% lebih tinggi dari tarif normal.



5.Perluasan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Dimaksudkan bahwa pemerintah memberikan fasilitas kepada masyarakat yang secara nyata ikut berpartisipasi dalam kepentingan sosial, dengan diperkenankannya biaya tersebut sebagai pengurang penghasilan bruto.

a. Sumbangan dalam rangka penganggulangan bencana nasional dan infrastruktur sosial.
b. Sumbangan dalam rangka fasilitas pendidikan, penelitian dan pengembangan
yang dilakukan di Indonesia.
c. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga dan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia.



6. Pengecualian dari objek PPh

a. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh lembaga atau badan nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan pengembangan yang ditanamkan kembali paling lama dalam jangka waktu 4 tahun tidak dikenai pajak.
b. Beasiswa yang diterima atau diperoleh oleh penerima beasiswa tidak dikenai pajak.
c. Bantuan atau santunan yang diterima dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tidak dikenai pajak.

7. Surplus Bank Indonesia ditegaskan sebagai objek pajak.
Aturan ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan terhadap penafsiran yang berbeda tentang surplus BI. Menurut UU No.7 Tahun 1983 tentang PPh, pengertian penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh WP dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian surplus BI adalah tambahan kemampuan ekonomis yang termasuk objek PPh yang diatur dalam UU PPh.

8. Peraturan perpajakan untuk industri pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk batubara dan bidang usaha berbasis syariah, diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah*